Terdengar isak tangis dari sehelai daun. “ Mengapa engkau menangis hai daun?” Tanya ranting. Rupanya angin yang berhembus kencang barusan berbisik pada daun bahwa sebentar lagi, di saat musim gugur, daun akan jatuh menjadi benda mati yang tak berguna dan akan dibakar oleh manusia, menjadi abu dan akan terhempas oleh waktu, dan menjadi musnah selama-lamanya. Daun sangat takut mendengarnya. Ia bergidik ketika mengingatnya. “ Jangan menangis lagi, hai daun.” Kata ranting. Rantingpun memberitahu pada dahan mengenai perkataan kejam si angin. Dahan memberitahu pada batang mengenai persoalan itu. “ Tak usah cemas, hai daun.” Kata batang yang kokoh itu. “ Aku akan menjagamu dan melindungimu. Saat angin telah datang, berpeganglah pada ranting, maka kau tak akan jatuh.” Sambungnya.
Beberapa saat kemudian, angin yang cukup besar datang. Ia tertawa lebar dan sesekali ia menyeringai. Daun berpegangan erat sekali pada ranting. “ Bertahanlah, hai daun kecil.” Pinta batang yang terlihat semakin jelek dan sudah terlihat tak sekokoh dahulu. Sekonyong-konyong daun itu terbang tinggi, jauh melesat dan meninggalkan batang dan dahan. Ia pergi di bawa oleh angin dan akhirnya jatuh bersama daun-daun yang lain. Rupanya ia memang terlepas dari batang dan dahan, tetapi rupanya ia tidak sendiri. Rantingpun ikut terbang bersamanya.
Daun yang berwarna hijau itu kini menjadi kuning keemasan. Ia tak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Setelah jatuh dan berkumpul bersama daun lainnya, ia tertidur pulas dan bermimpi. Tetapi, ia tak akan bangun lagi untuk menceritakan kembali mimpinya itu. Daun kecil yang malang sudah menjadi benda mati yang tak berguna.
Seorang anak kecil datang menghampirinya dan berkata “ Hai daun yang malang, maafkanlah aku.” Kemudian ia menyapu seluruh daun yang berada di pekarangan rumahnya.
Daun-daun yang terbang karena angin, kini menjadi sampah di mana-mana, termasuk di pekarangan rumah anak kecil tadi. Ia memasukkan daun-daun yang berserakan itu pada sebuah tong. Ia menuangkan minyak dan merogoh sakunya. Ia mengambil korek api. Ia mengeluarkan sebatang korek api dan menggesekannya sehingga terpercik sebuah api kecil. Ia memperhatikan api itu dan meletakannya bersama tumpukan daun-daun yang malang. Api itu menjalar sampai seluruh daun-daun terbakar.
Melihat hal itu, angin tertawa lebar dan mengajak asap pergi jalan-jalan. Ia melewati batang yang sudah jelek itu dan berkata bahwa si daun yang malang telah terbakar dan menjadi abu. Kini, daun yang malang itu hidup sebagai segenggam abu yang tak berdaya. Batang dan dahan saling bertatapan tak percaya. Musim gugur yang menyedihkan, rupanya. Musim gugur yang berlinang air mata. Sebentar lagi abu akan menyongsong akhir dari kehidupannya karena terhempas oleh waktu.