Jumat, 11 Maret 2011

temple grandin:sebuah kisah autisme

Temple Grandin menjalani hidup yang cukup berat di masa kanak-kanaknya. Pada usia dua tahun ia mengalami gangguan pada otak dan pada usia 3 tahun didiagnosa autis. Grandin kemudian dimasukkan ke sekolah khusus, ia juga menjalani speech therapy. Selain itu orangtuanya merekrut seorang pengasuh yang harus mengajarkan Grandin selama berjam-jam setiap harinya.

Temple Grandin, saat ini telah berusia 62 tahun

Pada usia 4 tahun, Grandin baru bisa berbicara. Dapat dikatakan ia beruntung memiliki seorang guru yang baik selama ia bersekolah. Namun hal ini tidak berlangsung lama, di usia remaja Grandin kerap menjadi bahan olok-olokkan karena Grandin selalu mengulang perkataan orang lain (ekolali). ”Saat ini saya dapat menertawakan pengalaman itu, tetapi di masa itu, perasaan saya sangat sakit” , kata Grandin dewasa ketika mengingat masa remajanya.

Grandin memiliki kecerdasan yang luar biasa disamping gangguan yang ia alami. Setelah lulus dari sekolah untuk anak berbakat, Grandin berhasil meraih gelar bachelor di bidang psikologi (Franklin Pierce College), dilanjutkan dengan gelar master di bidang animal science (Arizona State University) dan secara mengejutkan ia meraih gelar proffessor dari University of Illinois pada tahun 1989 (usia 42 tahun).

Selain pekerjaannya di bidang livestock (memastikan kondisi bahan pangan untuk masyarakat), Grandin aktif membela hak-hak individu dengan gangguan autis. Grandin beberapa kali mendapat liputan dari media (majalah Forbe, People, berbagai stasiun TV dan lain-lain), kisah hidupnya juga dijadikan film semi biografi oleh stasiun televisi HBO.
Dalam autobiografinya Grandin mengatakan bahwa autisme mempengaruhi seluruh aspek hidupnya, ia harus mengenakan pakaian berbahan khusus (karena ia mengalami hipersensitif), hidup dengan jadwal terstruktur , menggunakan squeeze box untuk meredakan stres dan lain-lain.

Di luar segala kesulitan yang ia hadapi, Grandin mengatakan :

” andai saya dapat menjentikkan jari dan berubah menjadi individu non-autis, saya tidak akan melakukannya. Autis adalah bagian yang telah menjadikan diri saya ”

“If I could snap my fingers and become nonautistic I would not do so. Autism is part of who I am.”

16 Mei 2010 lalu, Grandin menerima honorary Doctorate of Humane Letters dari Duke University.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger